Semangat Yang Memberdayakan

Semangat Yang Memberdayakan

Hari ini saya serahkan (lagi) draft paper ke para promotor untuk bisa disubmit di sebuah paper ilmiah yang bereputasi sangat tinggi. Berkali-kali saya serahkan draft yang berujung pada revisi atau penyempurnaan.

Setiap revisi yang dilakukan dipenuhi dengan coretan-coretan yang ‘menggelitik’. Namun ada perkataan yang selalu mereka katakan selepas meeting yaitu, “You have been doing great.” yang artinya kurang lebih “Kau sudah bekerja sangat baik.”. Sebuah perkataan yang sederhana, namun bagi saya itu sangat memberdayakan.

Pernah saya melakukan kesalahan sepele dalam penulisan, namun tetap saja mereka mengatakan hal-hal positif, dan tidak terlalu fokus ke kesalahannya. Seakan mereka selalu berusaha mengapresiasi atas apa yang sudah dilakukan. Tapi memang itulah budaya mereka.

Akhirnya sayapun mulai merasakan manfaatnya. Saya melihat progress yang dari awal kebingungan menulis paper ilmiah dalam bahasa inggris dengan grammar (tata bahasa) yang harus sempurna, namun sekarang terasa mudah karena terbiasa.

Ya, semangat itu memang benar-benar mengajak orang untuk melakukan sesuatu yang “Besar”/ “Great” !

Sayangnya, budaya ini jarang saya temukan di Indonesia…

Berdasarkan pengalaman dan pengamatan, di Indonesia yang sering ditemui adalah sang mahasiswa akan dikritik (habis-habisan). Yang akhirnya membuat mahasiswa menjadi sedih, tidak berdaya dan merasa ‘bodoh’.

Tidak jarang, dalam sidang sarjana, pascasarjana bahkan doktoral yang pernah saya lihat di Indonesia, maka para penguji akan ‘membantai’ sang mahasiswa, atau dengan istilah lain adalah mencari-cari kesalahan.

Secara filosofis cara ini memang tidak sepenuhnya salah, karena para penguji tugasnya memang menguji hasil karya ilmiah yang disampaikan. Namun semangat yang memberdayakan itu jarang sekali saya temui. Semangat itu jarang saya rasakan.

Walau demikian, tidak semua dosen di Indonesia seperti ini. Saya yakin cukup banyak juga dosen yang baik dalam mengarahkan mahasiswanya.

Berbeda dengan di Indonesia, di Belanda sangat bertolak belakang.. Pernah saya melihat sidang mahasiswa master di sini dengan banyak celah yang bisa dikritik oleh penguji. Namun sang penguji justru memberi masukan-masukan yang positif. Dan sekali lagi, tidak fokus ke kesalahan, namun fokus ke perbaikan.

Ini adalah perbedaan budaya dua negara. Budaya pun bisa mempengaruhi kualitas manusia yang ada di dalamnya. Adalah pekerjaan rumah kita bersama untuk secara perlahan mengadopsi budaya yang positif dari dunia luar, dan mulai meninggalkan budaya negatif.

Budaya ini bisa kita mulai perlahan di keluarga sendiri. Semisal jika anak melakukan kesalahan, maka justru fokus berikan masukan-masukan positif dan tidak fokus ke kesalahannya. Alhamdulillah saya dan istripun merasakan perkembangan positif di perkembangan anak-anak.

Semoga tulisan ini bermanfaat.
Ini yang bisa saya bagikan dari Belanda.

Bagikan artikel ini:
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments