Sepatu Defense & Batasan Akhir
Sepatu ini adalah sepatu kulit biasa yang saya bawa dari Indonesia untuk sebuah event khusus selama 4 tahun kuliah S3 di Belanda.
Ketika saya membawanya saya berkata kepada diri sendiri, ‘Ya Allah ijinkan saya bisa menggunakannya di sidang doktoral saya tepat sebelum masa studi S3 saya selesai”.
Sejak saat itu selama hampir 4 tahun hingga pindah beberapa kali hunian di kota Groningen, Belanda, sepatu itu tidak pernah saya pakai, sampai mulai terlihat debu menumpuk karena selalu saya letakkan di rak sepatu ala kadarnya.
Alhamdulillah, pada tanggal 27 Oktober 2020, tepat 4 hari sebelum beasiswa S3 saya habis, saya bisa menggunakan sepatu kulit ini di sidang doktoral (defense) yang saya harapkan 😊
Tidak, jangan salah paham, walaupun kata-kata saya terkesan ‘ajaib’ dan memang kata-kata adalah doa, kata-kata saja tidak cukup, di balik tercapainya ini, butuh sebuah usaha yang tidak mudah.
Mastatho’tum, ini adalah salah satu kunci utamanya.
Apa itu mastatho’tum?
Kata mastatho’tum ada di surat At-Taghabun ayat 16:
“Maka Bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu (semampunya)”.
Mastatho’tum berarti sesuai kesanggupan atau semampunya. Bisa juga diartikan bahwa kita di perintahkan oleh Allah untuk bertaqwa berdasarkan kesanggupan kita.
Ungkapan mastatho’tum juga biasa digunakan untuk menyatakan sebuah usaha keras hingga batas akhir.
Ada sebuah kisah menarik yang bisa menggambarkan pentingnya memiliki semangat mastatho’tum. Ini adalah kisah seorang ulama kelahiran Jenin sebelah barat sungai Jordan Yordania, Dr. Abdullah Yusuf Azzam.
Suatu ketika, Syeikh Abdullah Yusuf Azzam ditanya oleh muridnya, “Ya Syeikh apa yang dimaksud dengan mastatho’tum?”
Sang Syekh tidak langsung menjawabnya tapi justru membawa muridnya ke lapangan dan meminta murid-muridnya untuk berlari mengelilingi lapangan semampunya. Kemudian merekapun berlari mengelilingi lapangan hingga lelah dan memutuskan menepi ke pinggir lapangan.
Melihat muridnya lelah dan beristirahat, sang Syeikh berlari sekuat tenaga mengelilingi lapangan hingga beliau pingsan. Ketika melihat gurunya pingsan, para murid berlari untuk menandu dan menunggu sampai sang Syeikh sadar.
Setelah itu Syeikh Abdullah Azzam akhirnya bangun dan berkata “Inilah yang di maksud dengan mastatho’tum (semampunya atau sesuai dengan kesanggupan). Kita berusaha atau beriktihar semaksimal mungkin sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mengakhiri usaha kita”.
Inti dari mastatho’tum adalah agar kita selalu memotivasi diri untuk selalu ikhtiar (berusaha) dengan segala kesanggupannya, hingga Allah mengakhiri usaha kita sesuai dengan kesanggupan yang kita miliki. Tujuan utamanya adalah agar kita tidak menyerah di tengah jalan atau malas dalam berusaha apalagi sampai berputus asa dari rahmatNya.
Dulu saya pernah mendengar kisah alharhum Prof. BJ Habibie yang tidak tidur hingga jam 3 pagi saat kuliah di Jerman. Sayapun ternyata justru mengalaminya sendiri. Tentunya tidak setiap hari saya tidak tidur hingga jam 3, tapi kerja keras itu sangat terasa selama 4 tahun.
Saya harus bisa mengatur waktu mengerjakan studi S3 saya, mengurus website, channel Youtube untuk bisa berbagi ke banyak orang, family time dengan istri dan anak, dan hal-hal lainnya yang saya persiapkan ketika nanti saya lulus S3. Walau saya sangat keteteran mengatur ini semua, alhamdulillah Allah memudahkan semuanya.
Tentu tidak mudah menjaga semangat mastatho’tum, karena manusia pada hakikatnya adalah mahluk pelupa. Lalu bagaimana cara menjaga semangat dan motivasi untuk terus berikhtiar semaksimal mungkin?
Solusinya satu! Selalu cari alasan, tidak hanya satu tapi sebanyak mungkin! Alasan apapun yang membuat kita harus (bahasa jawanya ‘kudu’), wajib, dan mesti bekerja keras. Alasan-alasan yang mendorong bahwa jika kita gagal maka akan ada kesengsaraan besar (rasa sakit yang dalam) yang kita dapat, atau jika kita berhasil akan ada orang-orang di luar sana yang sangat bahagia.
Kemudian buat sebisa mungkin banyak hal yang mudah diakses yang bisa mengingatkan kita untuk terus bekerja keras. Bisa jadi dengan melihat foto orang-orang tercinta, mengingat keluarga atau sahabat-sahabat kita yang sudah meninggalkan kita terlebih dahulu (mengingat kematian), atau hal-hal sederhana seperti sepatu defense ini yang saya letakkan di dekat pintu keluar, sehingga setiap saya menuju kampus saya selalu ingat bahwa waktu beasiswa saya semakin sempit.
Atau bisa juga seperti Khalifah Umar Bin Khattab yang selalu menggunakan cincin bertuliskan “Kafa Bi Nafsika al-Maut Wa’ida Ya Umar” yang artinya “Cukup maut menjadi peringatan bagi Engkau Wahai Umar”.
Dan jangan pernah lupa, bahwa kita ini adalah umat pilihan,
“Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah pula kamu bersedih hati, padahal kamulah orang orang yang paling tinggi derajatnya jika kamu beriman.” (QS: Ali Imran – 139)
Jadi jangan pernah kecewakan Dzat yang sudah memberikan kita amanah berada di dunia yang bersifat sementara ini untuk terus bisa berkontribusi memberikan keberhkahan dan manfaat bagi banyak orang.
Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat. Semoga apa yang kita impikan di dunia ini mendapatkan banyak kemudahan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, aamiin.
Mega Bagus Herlambang, Ph.D
Data Scientist & Business Consultant