Web-based learning (WBL) adalah ancaman bagi semua universitas dan harapan baru bagi para pendidik. Sebut saja beberapa WBL yang terkenal seperti udemy, udacity, coursera, masterclass dan lain-lain, banyak diminati oleh mereka-mereka yang sudah mahir memakai internet.
Tidak tanggung-tanggung, saya pun ikut membeli banyak courses (perkuliahan) karena memang saya mendapatkan apa yang saya inginkan, dalam artian materinya bisa kita pilih sesuai kebutuhan.
Mengapa ini ancaman? Karena mereka memberikan apa yang dibutuhkan, dan mengisi ruang kosong pendidikan konvensional. Saya beri contoh perbandingan kelebihan sistem ini dibanding pendidikan konvensional dalam sudut pandang mahasiswa baru S1:
- Dalam kuliah konven, mahasiswa secara umum hanya ingin mendapatkan gelar (misal S1-Teknik X), dan setelah itu bekerja. Terkadang banyak materi yang sudah dipelajari, dalam dunia nyata tidak terpakai. Bahkan bisa saya bilang hanya 20% saja yang terpakai, 80% adalah materi ‘jaga-jaga’ yang terpakai tergantung tipe perusahaannya. Sementara WBL, materinya bisa dipilih, mulai dari materi rumahan (memasak, mencuci, beres-beres rumah), materi hobby (akting, memancing, main basket, fotografi), sampai materi serius (data science, programming), dll.
- Dalam kuliah konven, mahasiswa dipaksa untuk ‘melahap’ semua materi yang mungkin tidak semua mahasiswa suka dengan materi tersebut. Jika mahasiswa nilainya jelek bukan berarti dia bodoh, bisa jadi dia hanya tidak suka saja. Cukup 5 tahun untuk mahir dalam 1 bidang. Jika 4 tahun di S1 mempelajari hal yang tidak disukai, maka 4 tahun bisa saja terbuang sia-sia.
- Perusahaan mulai mengakui sertifikat yang diberikan dari web-based learning (misal Udacity). Walau demikian, saat ini gelar S1 dari universitas lebih diakui karena negara mengakuinya secara legal. Namun perlu juga dicatat, pelan tapi pasti, perusahaan saat ini lebih mencari mereka yang langsung bisa kerja.
- WBL seakan-akan adalah sebuah handphone di masa pager sedang rame-ramenya. Pelan tapi pasti pager ini akan tergantikan dengan barang yang memang lebih dibutuhkan. Jika kepercayaan perusahaan sudah semakin besar terhadap WBL, maka bisa dipastikan universitas langsung kekurangan mahasiswa S1. Sementara mereka yang tertarik menjadi akademisi, memang harus melalui jalur S2 dan S3.
- Lulusan SMA yang mampu menggunakan Youtube dengan cerdas dan menkombinasikannya dengan WBL bisa saja mengalahkan mereka yang baru saja menyelesaikan gelar S1. Saya ambil contoh, untuk membuat sebuah aplikasi game sederhana di HP (melalui udemy), cukup membayar kurang lebih 50 ribu rupiah. Materinya pun langsung praktek (walaupun hanya visual). Yang mengajarkan praktisi, dan bukan orang yang hanya bisa berteori. Itu baru 1 course, bagaimana jika ia memilih beberapa courses (mata kuliah) yang ia sukai, maka 1 juta sudah jadi mahir. Sementara 1 juta mungkin baru uang sewa kos anak kuliahan selama 3 bulan.
- WBL juga bisa menjadi peluang bagi universitas yang ‘melek’ terhadap ancaman ini. Sebut saja kampus Wageningen yang sudah membuka program S1 berbasis WBL. Ada juga kampus yang memberikan gelar MBA resmi melalui kuliah online. Maka bagi kampus yang kurang tanggap, bisa saja bernasib seperti Nokia. Terlena, kalah dalam persaingan dan ditinggalkan.
Lalu apa peluangnya bagi para pendidik (dalam hal ini dosen)?
- WBL adalah jalan keluar bagi dosen yang suka berkreasi. Saya mengamati ada 1 course (mata kuliah) di udemy yang sudah dibeli oleh kurang lebih 100 ribu orang. Jika ia mendapat 5 euro (kurang lebih 80 ribu rupiah) untuk 1 peserta, maka ia sudah mendapatkan 8 Milyar rupiah! Itupun hanya dari 1 course. Saya cermati ia punya puluhan course! Hal yang menarik adalah pengajar ini cukup mengajar sekali saja. Yaitu saat ia pertama kali membuat materinya. Para peserta hanya perlu memutar videonya berkali-kali. Pendidik ini pun menikmati passive income!
- Peluang WBL masih terbuka lebar, karena belum ada WBL khusus untuk pasar Indonesia yang tentunya berbahasa Indonesia. Model business-nya gampang, cukup modal domain, hosting dan sedikit skill programming.
Tulisan singkat tapi semoga memberi gambaran apa saja yang harus dipersiapkan oleh kampus dan para pendidik di Indonesia.
Semoga manfaat!