Teringat saya saat itu ketika saya masih menjadi mahasiswa di Bandung. Saya mengontrak rumah bersama sahabat saya di daerah Kopo. Jika Anda bukan orang Bandung, maka Kopo adalah daerah Bandung coret (Bandung pinggiran). Ada suatu kisah menarik di tempat ini yang sampai sekarang saya tidak pernah bisa melupakannya.
Saat itu sudah mulai memasuki waktu dhuhur, dan bertepatan dengan hari Jumat. Itu adalah kali pertama saya mau menjalankan ibadah shalat jumat di daerah Kopo, tepatnya di Taman Kopo Indah III. Saya sudah memasuki sebuah masjid yang tidak berukuran besar, namun cukup bersih. Satu per satu orang mulai berdatangan untuk menempati masjid itu sehingga perlahan semua masjid mulai terisi penuh.
Dimulailah khutbah jumat, di mana saya agak kurang paham dengan isi khutbah itu. Saya kurang paham bukan karena isi khutbahnya yang sangat rumit, melainkan bahasa khutbah yang digunakan adalah bahasa sunda, sementara saya kurang bisa menguasai bahasa sunda saat itu. Selesai khutbah dimulailah shalat jumat 2 rakaat. Tidak lama berakhirlah ibadah shalat jumat dan satu per satu orang mulai meninggalkan masjid, namun ada juga beberapa orang yang masih duduk untuk melajutkan dzikirnya. Ada satu orang yang membuat saya keheranan, orang itu berdiri dengan sangat pelan sekali dan ia sangat berhati-hati sekali ketika mulai berjalan. Satu tangannya membawa tongkat berwarna coklat tua. Ia mulai membalikkan badannya, ternyata wajahnya sudah tidak muda lagi. Kira-kira ia sudah berusia 60 tahunan. Dan yang mengejutkan saya adalah kedua matanya buta!
Ia mulai berjalan keluar dari masjid, dan ia harus menuruni tangga. Dengan sangat perlahan ia meraba permukaan tangga itu dengan tongkat coklatnya dan merasakan kondisi tangganya dengan kakinya yang kulitnya sudah terlihat keriput. Perlahan tapi pasti ia berjalan keluar dari ruang utama masjid. Anehnya tidak ada satupun orang di sekitar sana yang membantunya. Dengan terpana saya melihatnya dan hati ini langsung menangis. Betapa banyak nikmat yang selama ini saya dustakan. Seseorang yang tua renta dan cacat penglihatannya tetap berjuang untuk terus beribadah dengan Sang Pencipta, namun bagaimana dengan kita? Barangkali kita justru banyak mengeluh dan sering lupa untuk bersyukur atas semua nikmat yang tak terkira.
Banyak hal yang saya pelajari dari momen saat itu, ketika saya mulai mengeluh saya terus mengingat orang tua renta itu dan kemudian saya menangis. Menangis bukan karena sedih, namun menangis karena malu. Dan seketika rasa sedih saya hilang, berganti dengan keinginan dan keberanian untuk terus maju. Jikalau ia bisa melakukannya di saat keterbatasan dalam dirinya, mengapa kita yang sempurna tidak? Satu hal yang pasti, bahwa kita lahir dengan kondisi cacat bukanlah pilihan kita, namun ketika kita berakhir dalam kondisi menderita, itu adalah pilihan kita dan tanggung jawab kita. Hidup adalah pilihan! Mulai sekarang mari kita lakukan yang terbaik terhadap semua aspek kehidupan kita. Lakukan sekarang, sebelum semuanya terlambat.